Asal Muasal Desa
Tegalwangi
Pada zaman sinuhun Sunan Gunung Jati Cirebon menyebarkan Islam, di Blok Wadas berkuasa seorang Ki Gede bernama Buyut Sasmita. Ia tinggal bersama seorang putrinya Nyi Mas Semantra, yang mempunyai paras dan raut wajah yang sangat cantik, sehingga banyak lelaki yang bermaksud melamarnya. Oleh karena yang melamar berdatangan dari berbagai daerah, maka untuk memilih calon suaminya diadakanlah sayembara dengan syarat-syarat sebagai berikut :
“Barangsiapa yang dapat membuat lampit dari rotan untuk menutupi bale gede tempat pemidangan dan dapat diselesaikan dalam satu malam, maka orang itulah yang akan menjadi suaminya”
Di antara peserta sayembara ada seorang pinangeran bernama Pangeran Kejaksan. Ia adalah abdi para wali yang bersama-sama dengan Sunan Kalijaga berjasa memperjuangkan dan menyebarkan agama Islam di wilayah Cirebon. Pangeran Kejaksan pada waktu melamar telah membawa rotan (penjalin – bahasa Cirebon) yang dibawanya dalam sebuah pedati gede. Pedati gede tersebut sampai sekarang masih ada di daerah Pekalangan Cirebon.
Perjalanan Pangeran Kejaksan dengan membawa rotan telah tiba di perempatan Sikere, namun ia tidak dapat meneruskan ke Tegalwangi, oleh karena jalan yang akan dilalui pedati gede terlalu sempit. Muatan rotan lalu dibongkar di Sikere, sehingga daerah tersebut dikenal dengan nama Blok Jalinan yang diambil dari nama rotan (penjalin). Sedikit-sedikit rotan diangkut ke Kebon Suro tempat balai gede berada sebagai pemidangan Nyi Mas Semantra. Setelah rotan terkumpul seluruhnya, pada malam harinya Pangeran Kejaksan mengerjakan lampit dari rotan sesuai permintaan Buyut Sasmita.
Sekitar tengah malam, pembuatan lampit dari rotan yang dikerjakan Pangeran Kejaksan hampir selesai. Nyi Mas Semantra yang mengetahui lampit yang dikerjakan Pangeran Kejaksan hampir selesai, menjadi bingung. Untuk menggagalkan usaha Pangeran Kejaksan, Nyi Mas Semantra melakukan semedi tidak jauh dari tempat pembuatan lampit. Setelah bersemedi, tiba-tiba pada lewat tengah malam terdengar bunyi ayam berkokok dan burung-burung berkicau pertanda hari telah menjelang pagi. Akhirnya Pangeran Kejaksan menghentikan pembuatan lampit dari rotan tersebut, padahal pekerjaannya hampir diselesaikan. Sebenarnya masih banyak waktu bagi Pangeran Kejaksan untuk menyelesaikan pembuatan lampit tersebut, namun permohonan Nyi Mas Semantra melalui semedi rupanya terkabul, hingga Pangeran Kejaksan dinyatakan gagal, tidak tepat waktu.
Setelah Pangeran Kejaksan mengetahui usahanya gagal, ia lalu berkata, “Biar cita-cita mempersunting Nyi Mas Semantra gagal, namun wanita di sini akan kawin dengan lampit-lampit penjalin.”
Kata-kata Pangeran Kejaksan itu menjadi kenyataan. Hingga sekarang daerah Tegalwangi atau Tegalmantra (diambil dari nama Nyi Mas Se”mantra”) terkenal sebagai pengrajin rotan atau penjalin, yang dipasarkan ke berbagai daerah bahkan diekspor ke luar negeri.
Desa Tegalwangi hingga tahun 1904 terdiri dari empat desa, yaitu Desa Tegalwangi Timur (Tegalmantra Timur), Tegalwangi Barat (Tegalmantra Barat), Desa Wadas dan Desa Asinan, dengan nama Kuwu/Kepala Desa yang diketahui diantaranya adalah Yarsina, Arsewi, Kanapi dan Mukayim. Pada tahun 1905 keempat desa tersebut digabungkan menjadi satu desa dengan nama Desa Tegalwangi.
Nama Kepala Desa
Tegalwangi yang diketahui diantaranya :
NO. NAMA TAHUN KET
1 KESA 1905-1910
2 MARJUKI 1910-1912
3 KESA 1935-1948
4 MURDINGO 1949-1954
5 JAYANI 1954-1960
6 KABOL 1960-1968
7 MUSTAKIM 1968-1976
8 SUPRIYADI 1976-1986
9 DUDUNG SUPRIYATNA 1986-1989 Pjs
10 KADIMAN SAKIM 1989-1994
11 DIDIN WAHYUDIN 1995-1996 Pjs
12 SUGIYO 1996-1998 Pjs
13 HARDOMO 1998-2000 Pjs
14 MOH. DHOHIR, SE 2000-2001 Pjs
15 TEGUH TRIYONO 2002-2011
16 ASUN 2011-Sekarang
Rotan adalah Kehidupan di Tegalwangi
MEMASUKI
kawasan Desa Tegalwangi, Kecamatan Weru, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, segera
nyata terlihat bahwa rotan telah menjadi pusat kehidupan masyarakat di daerah
tersebut. Mulai dari pinggir jalan raya pantai utara Cirebon-Palimanan hingga
di gang-gang kecil dan kampung-kampung di belakangnya, terlihat kegiatan
masyarakat yang berhubungan dengan rotan.
Mulai
dari hilir mudiknya mobil-mobil bak terbuka membawa ratusan batang rotan yang
masih mentah, orang-orang yang sedang menganyam rotan sampai toko-toko dan
ruang pamer yang memajang berbagai jenis produk kerajinan rotan. Bahan-bahan
kerajinan mulai dari keranjang sampah berukuran kecil hingga ranjang berukuran
besar, terlihat di ruang-ruang pamer itu, baik yang diperuntukkan bagi pasar
lokal maupun pasar ekspor ke seluruh dunia.
Rotan
sudah menjadi napas kehidupan masyarakat Tegalwangi secara turun-temurun.
Menurut cerita dari mulut ke mulut, orang yang pertama kali mengawali pembuatan
kerajinan rotan di Tegalwangi adalah penduduk asli desa itu yang bernama Nyi
Tegalmantra atau akrab dipanggil Nyi Mantra, sekitar tahun 1920-an.
Konon,
ketika itu Nyi Mantra sering pergi ke Sumatera. Di Sumatera ia menemukan pohon
rotan yang unik karena sifat lenturnya. Ia kemudian pulang membawa rotan itu
dan mencoba membuat kerajinan tangan dari bahan baru tersebut. Awalnya produk
yang dihasilkan hanya berupa keranjang, yang dicoba dijajakan di pinggir jalan
raya Tegalwangi, dan ternyata banyak orang yang menyukainya.
Ilmu
Nyi Mantra itulah yang kemudian diwarisi dan dikembangkan oleh masyarakat
Tegalwangi lainnya hingga saat ini. Setiap hari, masyarakat Tegalwangi tidak
peduli laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda, bergulat menekuni kerajinan
rotan. Mereka biasanya memproduksi barang-barang kerajinan rotan di rumahnya
masing-masing.
Seperti
dituturkan Udin (25), anak muda asli Tegalwangi yang kesehariannya bekerja
sebagai pegawai borongan penganyam rotan. Menurut dia, hampir seluruh
masyarakat di Tegalwangi menguasai ilmu menganyam rotan menjadi berbagai macam
barang kerajinan.
“Sejak
kecil saya sudah melihat orang membuat berbagai macam kerajinan rotan, akhirnya
lama-lama bisa membuat sendiri. Mulai kelas II SMP, sepulang sekolah saya sudah
bekerja menganyam rotan sampai sekarang,” ujar Udin yang hanya sekolah sampai
SMP tersebut.
Beril
(21) dan Jeffry (18), dua pemuda asli Tegalwangi lainnya, adalah sebagian dari
generasi penerus yang mengembangkan keterampilan pertukangan kayu tersebut.
Mereka membuat ratusan kerangka kursi sofa dari kayu-kayu pinus dan mahoni
dengan sistem upah harian. Setiap hari mereka menerima upah rata-rata Rp
20.000.
Ketua
Asosiasi Pengusaha Mebel dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Komisariat Daerah
Cirebon Sumarca mengatakan, saat ini tercatat sekitar 70.000 tenaga kerja yang
terlibat dalam jalur produksi kerajinan rotan di Tegalwangi.
“Satu
kontainer barang kerajinan rotan yang diekspor membutuhkan sekitar 30-35 orang
untuk menyelesaikannya, mulai dari proses pemotongan bahan baku sampai
finishing. Jika setiap bulan seluruh pengusaha di Tegalwangi bisa mengekspor
2.000 kontainer, berarti ada 70.000 tenaga kerja yang terlibat,” katanya.
Menurut
Sumarca, industri kerajinan rotan saat ini tidak hanya tumbuh dan berkembang di
wilayah Tegalwangi saja, tetapi juga berkembang di wilayah lain Kabupaten
Cirebon, bahkan sudah merambah hingga ke Kabupaten Indramayu, Kuningan, dan
Majalengka. “Harga tanah di Tegalwangi sudah terlalu tinggi, mencapai Rp
400.000 per meter persegi, berkat perkembangan industri rotan. Akibatnya, para
pemain baru di industri ini memilih mengembangkan pabriknya di luar wilayah
Tegalwangi,” paparnya.(DHF)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar