Kamis, 27 September 2012

Asal Usul Desa Tegalwangi Kabupaten Cirebon



Asal Muasal Desa Tegalwangi



Pada zaman sinuhun Sunan Gunung Jati Cirebon menyebarkan Islam, di Blok Wadas berkuasa seorang Ki Gede bernama Buyut Sasmita. Ia tinggal bersama seorang putrinya Nyi Mas Semantra, yang mempunyai paras dan raut wajah yang sangat cantik, sehingga banyak lelaki yang bermaksud melamarnya. Oleh karena yang melamar berdatangan dari berbagai daerah, maka untuk memilih calon suaminya diadakanlah sayembara dengan syarat-syarat sebagai berikut :

“Barangsiapa yang dapat membuat lampit dari rotan untuk menutupi bale gede tempat pemidangan dan dapat diselesaikan dalam satu malam, maka orang itulah yang akan menjadi suaminya”

Di antara peserta sayembara ada seorang pinangeran bernama Pangeran Kejaksan. Ia adalah abdi para wali yang bersama-sama dengan Sunan Kalijaga berjasa memperjuangkan dan menyebarkan agama Islam di wilayah Cirebon. Pangeran Kejaksan pada waktu melamar telah membawa rotan (penjalin – bahasa Cirebon) yang dibawanya dalam sebuah pedati gede. Pedati gede tersebut sampai sekarang masih ada di daerah Pekalangan Cirebon.

Perjalanan Pangeran Kejaksan dengan membawa rotan telah tiba di perempatan Sikere, namun ia tidak dapat meneruskan ke Tegalwangi, oleh karena jalan yang akan dilalui pedati gede terlalu sempit. Muatan rotan lalu dibongkar di Sikere, sehingga daerah tersebut dikenal dengan nama Blok Jalinan yang diambil dari nama rotan (penjalin). Sedikit-sedikit rotan diangkut ke Kebon Suro tempat balai gede berada sebagai pemidangan Nyi Mas Semantra. Setelah rotan terkumpul seluruhnya, pada malam harinya Pangeran Kejaksan mengerjakan lampit dari rotan sesuai permintaan Buyut Sasmita.

Sekitar tengah malam, pembuatan lampit dari rotan yang dikerjakan Pangeran Kejaksan hampir selesai. Nyi Mas Semantra yang mengetahui lampit yang dikerjakan Pangeran Kejaksan hampir selesai, menjadi bingung. Untuk menggagalkan usaha Pangeran Kejaksan, Nyi Mas Semantra melakukan semedi tidak jauh dari tempat pembuatan lampit. Setelah bersemedi, tiba-tiba pada lewat tengah malam terdengar bunyi ayam berkokok dan burung-burung berkicau pertanda hari telah menjelang pagi. Akhirnya Pangeran Kejaksan menghentikan pembuatan lampit dari rotan tersebut, padahal pekerjaannya hampir diselesaikan. Sebenarnya masih banyak waktu bagi Pangeran Kejaksan untuk menyelesaikan pembuatan lampit tersebut, namun permohonan Nyi Mas Semantra melalui semedi rupanya terkabul, hingga Pangeran Kejaksan dinyatakan gagal, tidak tepat waktu.

Setelah Pangeran Kejaksan mengetahui usahanya gagal, ia lalu berkata, “Biar cita-cita mempersunting Nyi Mas Semantra gagal, namun wanita di sini akan kawin dengan lampit-lampit penjalin.”

Kata-kata Pangeran Kejaksan itu menjadi kenyataan. Hingga sekarang daerah Tegalwangi atau Tegalmantra (diambil dari nama Nyi Mas Se”mantra”) terkenal sebagai pengrajin rotan atau penjalin, yang dipasarkan ke berbagai daerah bahkan diekspor ke luar negeri.

Desa Tegalwangi hingga tahun 1904 terdiri dari empat desa, yaitu Desa Tegalwangi Timur (Tegalmantra Timur), Tegalwangi Barat (Tegalmantra Barat), Desa Wadas dan Desa Asinan, dengan nama Kuwu/Kepala Desa yang diketahui diantaranya adalah Yarsina, Arsewi, Kanapi dan Mukayim. Pada tahun 1905 keempat desa tersebut digabungkan menjadi satu desa dengan nama Desa Tegalwangi.



Nama Kepala Desa Tegalwangi yang diketahui diantaranya :

NO. NAMA TAHUN KET

1 KESA 1905-1910

2 MARJUKI 1910-1912

3 KESA 1935-1948

4 MURDINGO 1949-1954

5 JAYANI 1954-1960

6 KABOL 1960-1968

7 MUSTAKIM 1968-1976

8 SUPRIYADI 1976-1986

9 DUDUNG SUPRIYATNA 1986-1989 Pjs

10 KADIMAN SAKIM 1989-1994

11 DIDIN WAHYUDIN 1995-1996 Pjs

12 SUGIYO 1996-1998 Pjs

13 HARDOMO 1998-2000 Pjs

14 MOH. DHOHIR, SE 2000-2001 Pjs

15 TEGUH TRIYONO 2002-2011

16 ASUN 2011-Sekarang



Rotan adalah Kehidupan di Tegalwangi
MEMASUKI kawasan Desa Tegalwangi, Kecamatan Weru, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, segera nyata terlihat bahwa rotan telah menjadi pusat kehidupan masyarakat di daerah tersebut. Mulai dari pinggir jalan raya pantai utara Cirebon-Palimanan hingga di gang-gang kecil dan kampung-kampung di belakangnya, terlihat kegiatan masyarakat yang berhubungan dengan rotan.
Mulai dari hilir mudiknya mobil-mobil bak terbuka membawa ratusan batang rotan yang masih mentah, orang-orang yang sedang menganyam rotan sampai toko-toko dan ruang pamer yang memajang berbagai jenis produk kerajinan rotan. Bahan-bahan kerajinan mulai dari keranjang sampah berukuran kecil hingga ranjang berukuran besar, terlihat di ruang-ruang pamer itu, baik yang diperuntukkan bagi pasar lokal maupun pasar ekspor ke seluruh dunia.
Rotan sudah menjadi napas kehidupan masyarakat Tegalwangi secara turun-temurun. Menurut cerita dari mulut ke mulut, orang yang pertama kali mengawali pembuatan kerajinan rotan di Tegalwangi adalah penduduk asli desa itu yang bernama Nyi Tegalmantra atau akrab dipanggil Nyi Mantra, sekitar tahun 1920-an.
Konon, ketika itu Nyi Mantra sering pergi ke Sumatera. Di Sumatera ia menemukan pohon rotan yang unik karena sifat lenturnya. Ia kemudian pulang membawa rotan itu dan mencoba membuat kerajinan tangan dari bahan baru tersebut. Awalnya produk yang dihasilkan hanya berupa keranjang, yang dicoba dijajakan di pinggir jalan raya Tegalwangi, dan ternyata banyak orang yang menyukainya.
Ilmu Nyi Mantra itulah yang kemudian diwarisi dan dikembangkan oleh masyarakat Tegalwangi lainnya hingga saat ini. Setiap hari, masyarakat Tegalwangi tidak peduli laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda, bergulat menekuni kerajinan rotan. Mereka biasanya memproduksi barang-barang kerajinan rotan di rumahnya masing-masing.
Seperti dituturkan Udin (25), anak muda asli Tegalwangi yang kesehariannya bekerja sebagai pegawai borongan penganyam rotan. Menurut dia, hampir seluruh masyarakat di Tegalwangi menguasai ilmu menganyam rotan menjadi berbagai macam barang kerajinan.
“Sejak kecil saya sudah melihat orang membuat berbagai macam kerajinan rotan, akhirnya lama-lama bisa membuat sendiri. Mulai kelas II SMP, sepulang sekolah saya sudah bekerja menganyam rotan sampai sekarang,” ujar Udin yang hanya sekolah sampai SMP tersebut.
Beril (21) dan Jeffry (18), dua pemuda asli Tegalwangi lainnya, adalah sebagian dari generasi penerus yang mengembangkan keterampilan pertukangan kayu tersebut. Mereka membuat ratusan kerangka kursi sofa dari kayu-kayu pinus dan mahoni dengan sistem upah harian. Setiap hari mereka menerima upah rata-rata Rp 20.000.
Ketua Asosiasi Pengusaha Mebel dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Komisariat Daerah Cirebon Sumarca mengatakan, saat ini tercatat sekitar 70.000 tenaga kerja yang terlibat dalam jalur produksi kerajinan rotan di Tegalwangi.
“Satu kontainer barang kerajinan rotan yang diekspor membutuhkan sekitar 30-35 orang untuk menyelesaikannya, mulai dari proses pemotongan bahan baku sampai finishing. Jika setiap bulan seluruh pengusaha di Tegalwangi bisa mengekspor 2.000 kontainer, berarti ada 70.000 tenaga kerja yang terlibat,” katanya.
Menurut Sumarca, industri kerajinan rotan saat ini tidak hanya tumbuh dan berkembang di wilayah Tegalwangi saja, tetapi juga berkembang di wilayah lain Kabupaten Cirebon, bahkan sudah merambah hingga ke Kabupaten Indramayu, Kuningan, dan Majalengka. “Harga tanah di Tegalwangi sudah terlalu tinggi, mencapai Rp 400.000 per meter persegi, berkat perkembangan industri rotan. Akibatnya, para pemain baru di industri ini memilih mengembangkan pabriknya di luar wilayah Tegalwangi,” paparnya.(DHF)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar